Sahnya Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Agama -Agama di Indonesia

Sebelum dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,  perkawinan beda agama di Indonesia diatur dalam Ordonansi Perkawinan Campuran Stb. 1898 No.158. Pada waktu itu, perkawinan beda agama termasuk dalam perihal perkawinan campuran. Pasal 1 Ordonansi Perkawinan Campuran menyebutkan bahwa : “Yang dinamakan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang – orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan”.[1] Di dalam peraturan Ordonansi tersebut memperbolehkan adanya perkawinan beda agama yang tercantum pada Pasal 7 yang berbunyi : “Perbedaan agama, suku, bangsa atau keturunan, sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan”.[2] Maka dari itu, Ordonansi Perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158 membuka kemungkinan seluas – luasnya untuk mengadakan perkawinan beda agama.

Berdasarkan uraian di atas, sebelum dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dan disahkan dengan dasar hukum Ordonansi Perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158. Namun sejak tahun 1974, negara Indonesia telah membentuk suatu peraturan baru tentang perkawinan yang bersifat nasional dan berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Peraturan tersebut ialah Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974[3] Tentang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan mulai berlaku bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 yang berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975.

Berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, pengertian perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[4] Perkawinan merupakan ikatan yang sakral karena di dalam ikatan perkawinan tidak hanya terdapat ikatan lahir atau jasmani saja tetapi juga ada ikatan rohani yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maksudnya ialah bahwa suatu perkawinan tidak hanya sekedar hubungan lahiriah saja, tetapi lebih dari itu yaitu suatu ikatan atau hubungan lahir batin antara seorang laki – laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhann Yang Maha Esa.[5]

Dari pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU Perkawinan tersebut dapat dirumuskan unsur – unsur perkawinan, yaitu :

  1. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita.
  2. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia.
  3. Perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan unsur – unsur pengertian perkawinan di atas, pelaksanaan perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mempunyai akibat langsung terhadap sahnya suatu perkawinan.

UU No. 1 Tahun 1974 secara eksplisit menjelaskan mengenai sahnya perkawinan melalui Pasal 2 ayat (1) yaitu : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu”.[6]

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dapat diketahui bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini berarti bahwa, jika suatu perkawinan telah memnuhi syarat dan rukun perkawinan atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) dan pendeta atau pastor (bagi umat Kristen dan Katolik) telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama dipandang dari segi agamadan kepercayaannya, Apabila tidak dilakukan dengan cara demikian, maka perkawinan tersebut dapat dikatakan sah. Hukum masing – masing agama menjadi dasar sahnya suatu perkawinan , hal tersebut berarti pelaksanaan perkawinan hanya tunduk pada salah satu hukum agama saja. Oleh karenanya perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[7] Dengan kata lain, perkawinan tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan dua hukum agama yang berbeda.

UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah peraturan perundang – undangan Indonesia yang khusus mengatur tentang perkawinan, namun pada UU tersebut tidak ada pengaturan secara tegas mengenai perkawinan beda agama. Keadaan ini menimbulkan ketidakjelasan status hukum perkawinan tersebut apakah sah atau malah tidak sah, dan pasal – pasal dalam UU Perkawinan yang dapat dihubung – hubungkan dengan perkawinan beda agama masih sangat interpretable sehungga kepastian hukum dalam konteks ini sulit diwujudkan.[8]

Sebelum dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan beda agama diatur dalam Ordonansi Perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158 perihal perkawinan campuran. Namun dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan secara jelas dicantumkan mengenai perkawinan campuran. Berdasarkan Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, mengatakan bahwa perkawinan campuran dalam undang – undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Dengan merujuk Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agama dan kepercayaannya itu, dan dengan menelaah pandangan agama – agama di Indonesia terhadap status hukum perkawinan beda agama harus dinyatakan sah dan mendapat peraturan yuridis yang jelas, tidak seperti berlaku sekarang. Kalau demikian halnya, maka langkah – langkah peraturan itu perlu dilakukan dengan mengkaji ulang UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya serta Kepres No. 12 Tahun 1983 yang mengatur tentang Kewenangan Catatan Sipil dan ketentuan lain yang terkait dengan pelaksanaan perkawinan sehingga dari usaha ini akan dapat diwujudkan kepastian hukum.[9]

Dari kedua peraturan mengenai perkawinan di Indonesia yakni Ordonansi Perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158 dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memiliki kesamaan yaitu mengatur tentang perkawinan campuran. Namun, dalam hal pengertian perkawinan campuran memiliki perbedaan diantara keduanya, di mana dalam Ordonansi Perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158 diatur tentang perkawinan yang tidak membedakan agama, suku, bangsa atau keturunan. Beberapa Sarjana Hukum yang memiliki pandangan sekuler, menganggap Ordonansi Perkawinan Campuran cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang pluralistik. Sedangkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan campuran hanya menyebutkan perbedaan kewarganegaraan saja, perkawinan beda agama tidak termasuk bagian yang diatur, baik di Pasal 57 maupun di pasal – pasal yang lainnya.

Ditinjau dari Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa : “Untuk perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang – undang ini, maka dengan berlakunya undang – undangan ini ketentuan – ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Stb. 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran Stb. 1898 No.158 dan peraturan – peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur undang – undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Dengan berdasarkan pada Pasal 66 tersebut, ada 2 (dua) pandangan mengenai segi keberlakuan dari UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu:

  1. Dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berdasarkan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka perkawinan beda agama yang sebellumnya diaturnya dalam Ordonansi Perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158, dinyatakan tidak berlaku lagi.
  2. Dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka perkawinan beda agama tetap berdasarkan pada Ordonansi Perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158 karena perkawinan beda agama tidak diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Untuk mengetahui kejelasan permasalahan perkawinan beda agama, maka dengan melihat pasal – pasal dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan  kepercayaannya. Hal ini mengisyaratkan bahwa undnag – undangn menyerahkan kepada masing – masing agama untuk menentukan cara – cara dan syarat – syarat pelaksanaan perkawinan tersebut. Jadi, suatu perkawinan dilarang atau tidak, apakah calon mempelai telah memnuhi syarat – syarat atau belum, di samping tergantung kepada ketentuan – ketentuan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, juga ditentukan oleh hukum agamanya masing – masing.

Selain berpedoman pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka untuk mengetahui kejelasan permasalahan perkawinan beda agama dapat pula dilihat Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang melarang pelaksanaan perkawinan bagi dua orang yang berhubungan darah baik garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas maupun garis keturunan yang menyamping, berhubungan semenda, susuan serta saudara dari istri atau bibi atau kemenakan serta mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Sesuai dengan permasalahan yang penulis rumusakan maka pasal yang berkaitan dengan hal tersebut adalah Pasal 8 huruf (f) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa pernikahan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Dari ketentuan Pasal 8 huruf (f) tersebut dapat dilihat bahwa disamping ada larangan – larangan yang secara tegas disebutkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan – peraturan lainnya, juga ada larangan – larangan dari hukum masing – masing agamanya. Bagi umat Islam khususnya, larangan tersebut dinyatakan secara tegas dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 1980 dan dipertegas kembali falam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005 serta dalam Pasal 40 dan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam.

Menurut Prof. Dr. Rohimin, M.Ag selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Bengkulu Periode 2010 – 2014, hukum Islam secara tegas melarang perkawinan beda agama hal tersebut berdasar pada ayat – ayat suci Al Quran, yaitu :

  1. Surat Al – Mumtahanah ayat (10) : “Hai orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan – perempuan yang beriman maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui maka mereka (benar – benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami – suami mereka) orang – orang kafir. Mereka tidak halal pula bagi mereka (muslimah) dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tidak ada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada meraka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir, dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar, dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan – Nya diantara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksananya”.
  2. Surat Al – Baqarah ayat (221) : “Dan janganlah kamu menikahkan orang – oarang musyrik (dengan wanita – wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesuangguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang mysrik, walaupun dia menarik hatimu. Merka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dengan izin – Nya”.

Menurut Kondar K. Lumban Turuan yang berprofesi sebagai Pendeta Gereja HKBP Kota Bengkulu, bagi umat Kristen tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum – hukum agamanya sendiri. Hukum agama Kristen yang berdasar pada Alkitab tidak mengatur tentang pernikahan beda agama. Berdasar pada Kitab Efesus 5: 22 – 23, tertulis bahwa “Kasih Kristus adalah dasar hidup suami istri”. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa iman Kristen menjadi dasar bagi kehidupan perkawinan dan perkawinan yang diharapkan adalah perkawinan antara orang seiman.

Apabila seorang jemaat Gereja akan melangsungkan perkawinan dengan pasangannya yang beragama selainKristen, maka pasangannya yang bukan Kristen itu harus dibabtis terlebih dahulu. Dengan baptis, maka seseorang akan mengikuti iman Kristen datau dengan kata lain orang itu beragama Kristen, sehingga bila ingin melangsungkan perkawinan di Gereja Kristen haruslah seiman.

Namun, ada pula pihak Gereja Kristen lain yang melakukan penyimpangan yaitu dengan pemberian dispensasi bagi jemaatnya untuk melangsungkan perkawinannya dengan umat yang beragama selain agama Kristen. Dispensasi oleh pihak Gereja adalah aturan perkawinan yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan beda agama. Dengan adanya perkawinan beda agama antara umat yang beragama Kristen dengan umat yang beragama selain Kristen, maka perkawinan tersebut dapat dilaksanakan dan Gereja mengeluarkan Surat Pemberkatan Perkawinan, sehingga perkawinan tersebut dinyatakan sah oleh pihak Gereja.

Dengan demikian, maka berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agama dan kepercayaan, sehingga lembaga agama diberikan wewenang untuk mengesahkan perkawinan. Sedangkan perkawinan beda agama dipandang dari hukum agama Islam dan hukum agama Kristen serta agama lainnya, pada dasarnya tidak diperkenankan untuk dilaksanakan, sehingga apabila ada perkawinan beda agama yang dilaksankan, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Karena, perkawinan beda agama yang dilaksankan itu tidak memenuhi Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akibat lebih jauhnya, pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil akan menjadi tidak sah juga.

[1] Ordonansi Perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158

[2] Ibid.

[3] Indonesia, Undang Undang Perkawinan, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019.

[4] Indonesia, Undang Undang Perkawinan, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019, psl 1

[5] Sution Usman Adji, Kawin lari dan Kawin antar Agama, cet 1, (Yogyakarta: Liberty,1989), hal 21

[6] Indonesia, Undang Undang Perkawinan, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019 psl 2

[7] http://www.bphn.go.id/data/documents/pkj-2011-2.pdf. 17 Maret 2016.

[8] http://malthufsiraj.wordpress.com/2008/09/26/problem-perkawinan-beda-agama-di-indonesia/. 17 Maret 2016.

[9] A. Malthuf Siraj, Op., Cit. Hlm.14.

DAFTAR PUSTAKA

Website

http://www.bphn.go.id/data/documents/pkj-2011-2.pdf. 17 Maret 2016.

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20309013-S42529-Perkawinan%20beda.pdf. 17 Maret 2016.

http://www.bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-5.pdf. 17 Maret 2016.

http://hukum.unsrat.ac.id/uu/s1898_158.pdf. 17 Maret 2016.

Buku

Sution Usman Adji. 1989. Kawin lari dan Kawin antar Agama. Yogyakarta: Liberty.

Sirman Dahwal. 2016. Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Teori dan Praktiknya di Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Peraturan Perundang – undangan

  • Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
  • Kitab Undang – Undang Hukum Perdata

Peraturan Lainnya

  • Ordonasi Perkawinan Campuran Stb 1898 Nomor 158

 

NB: Penulis menyusun ini untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.

Salam hangat dan selamat membaca.

3 Comments Add yours

  1. Eff Nurhadi says:

    Sejak adanya UU Perkawinan 1974, otomatis jumlah perkawinan campur menurun drastis. Padahal, dari dulu sejak jaman kolonial, sangat lumrah. Akibatnya, hilanglah salah satu gaya yang mengaduk-aduk ras2 dan suku2bangsa di Indonesia untuk membaur. Orang Cina, yang kebanyakan bukan Muslim, tidak bisa membaur dengan Orang Jawa, yang kebanyakan Muslim, melalui perkawinan lagi. Padahal, di masa lampau banyak terjadi ini, yang menghasilkan budaya peranakan Cina-Jawa.

  2. leony wijaya says:

    Tetapi menurut saya pada dasarnya, terkait dengan perkawinan, masalah persukuan tidak dapat serta merta digabungkan begitu saja dengan agama. Suku dan agama memiliki kaplingan masing – masing. Dan di Indonesia

  3. leony wijaya says:

    Dan di Indonesia lebih menitikberatkan pada agama yang menjadi landasan seseorang untuk melakukan suatu pernikahan.

Leave a comment