Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Asusila Dalam Perspektif Aliran Filsafat Hukum Pragmatic Legal Realism (Realisme Hukum)

PENDAHULUAN

Manusia diciptakan Tuhan disertai dengan alat kelengkapan yang sempurna dalam mencapai tujuan hidupnya. Alat kelengkapan itu berupa raga, rasa dan rasio. Dalam berkarya manusia menggunakan ketiga alat tadi. Dalam berkarya seni, tampil ke depan unsur rasanya, sedangkan mencangkul di sawah dan bekerja mengangkut barang – barang, banyak manusia menggunakan unsur raganya. Dalam hal berkarya filsafat, unsur rasiolah yang kemudian berperanan, walaupun pada mulanya unsur rasa yang terlebih dahulu tampil. Rasa heran dan kagum atas alam semesta yang dilihatnya langit yang terbentang tanpa batas, laut yang maha luas, gunung yang tinggi dan juga binatang terkecil yang mampu menghidupi dirinya (hampir tak terlihat oleh mata) dan lain sebagainya, menyebabkan manusia kemudian berfikir bagaimana cara terjadinya, terbuat dari mana, mengapa bentuknya demkian, dan banyak pertanyaan lain yang timbul dibenaknya, yang kesemuanya itu memerlukan jawaban. Suatu jawaban sebagai hasil pemikiran maupun penyelidikan yang mendalam. Dari jawaban tersbut akan muncul pertanyaan lagi, demikian seterusnya. Yang dicari adalah segi hakikatnya daripada apa yang diselidiki itu, yaitu dalam arti tempatnya di alam semesta dan hubungannya dnegan isi alam semesta yang lain.

Maka dari itu, dapat simpulkan bahwa filsafat itu tiada lain merupakan hasil pemikiran manusia tentang sesuatu di alam semesta dan hubungan sesuatu tadi dengan isi alam semesta yang lain. Kata “sesuatu” dapat berarti alam semesta beserta segala isinya. Dengan demikian yang dapat yang dijadikan objek filsafat itu adalah berbagai hal. Tingkah laku manusia menghasilkan filsafat etika, karya seni manusia menghasilkan filsafat estetika, kebenaran cara berfikir manusia menimbulkan filsafat logika. Juga segala upaya manusia dalam mencapai tujuan hidupnya menghasilkan cabang – cabang filsafat lainnya, seperti filsafat negara, filsafat hukum, filsafat politik, filsafat ekonomi, dan lain – lain.

Hukum merupakan sesuatu yang berkenaan dengan manusia. Manusia dalam hubungannya dengan manusia lain dalam suatu pergaulan hidup. Tanpa pergaulan hidup (masyarakat) tidak akan ada hukum (ibi societas ibi ius, zoon politicon). Dengan ini dapat dikatakan bahwa hukum berfungsi mengatur hubungan pergaulan antar manusia.

Begitu pula dengan masyarakat Indonesia, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang salah satu cirinya adalah legalitas dalam arti hukum, yaitu baik pemerintah atau negara maupun warga negara dalam bertindak harus selalu berdasar atas dan melalui hukum yang berlaku. Hukum yang dimaksud di sini, tidaklah terbatas pada peraturan perundang – undangan saja, tetapi juga dapat berasal dari putusan hakim yang bersifat tetap dan mengikat yang menjadi hasil dari proses peradilan. Jelas terlihat bahwa hukum telah mengatur setiap tindak tanduk manusia dalam menjalankan kehidupannya, termasuk mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain.

Walaupun telah diatur sedemikian rupa dengan adanya hukum, tidak menutup kemungkinan masih adanya berbagai permasalahan hukum di Indonesia. Saat ini, kejahatan dan pelanggaran terhadap kesusilaan menjadi hal yang menarik perhatian masyarakat. Bahwa banyaknya kasus – kasus yang terjadi di tengah masyarakat dimana tidak hanya terbatas pada perbuatan – perbuatan asusila yang berakibat gangguan psikis dan bahkan hingga kematian bagi korban dari perbuatan tersebut.

Kondisi yang memprihatinkan seperti ini tidak dapat dibiarkan berlarut – larut begitu saja. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa hukum yang berfungsi untuk mengatur hubungan manusia yang satu dan manusia lainnya harus ditegakkan agar permasalahan tersebut dapat segera teratasi. Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana asusila harus dilakukan dengan sebaik – baiknya, dikarenakan perbuatan – perbuatan asusila ini secara langsung mengancam Hak Asasi Manusia yang dilindungi oleh negara. Selain itu, dalam menegakkan hukum tersebut tidak dapat hanya dilakukan oleh penegak hukum saja, tetapi juga membutuhkan peranan penting masyarakat yang selalu berkembang dari waktu ke waktu.

Seperti kita ketahui, secara universal tujuan hukum ialah untuk mewujudkan kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan hukum yang adil. Disinilah muncul peranan dari filsafat hukum. Bahwa pada masa kini, objek pembahasan filsafat hukum tidak hanya terbatas pad tujuan hukum saja, akan tetapi pada setiap permasalahan yang mendasar sifatnya yangmuncul di dalam masyarakat dan membutuhkan suatu pemecahan.

Maka dalam pemecahan permasalahan hukum, termasuk permasalahan tentang banyak terjadinya perbuatan – perbuatan asusila di tengah masyarakat dapat diselesaikan dengan bantuan filsafat hukum. Filsafat hukum pada masa sekarang bukan lagi filsafat hukumnya para ahli filsafat pada masa lampau, akan tetapi merupakan buah pemikiran para ahli hukum (teoritisi maupun praktisi) yang dalam tugas sehari – harinya banyak menghadapi permasalahan – permasalahan hukum di masyarakat.

Filsafat hukum terdiri dari berbagai jenis aliran yang memiliki pandangan yang berbeda – beda terhadap hukum dan bagaimana cara menegakkan hukum tersebut, seperti :

  1. Aliran Hukum Alam
  2. Aliran Hukum Positif
  3. Aliran Utilitarianisme
  4. Madzab Sejarah
  5. Sosiological Jurisprudence
  6. Pragmatic Legal Realism, dan lain – lain.

Oleh karena itu, dalam membahas mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana asusila yang dikaitkan dengan aliran – aliran filsafat hukum, dimana penulis mencoba mengaitkan hal tersebut dengan aliran pragmatic legal realism yang sering juga disebut realisme hukum. Penulis telah merumuskan 2 hal yang menjadi pokok pembahasan dalam paper ini, yaitu :

  1. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana asusila dalam perspektif aliran filsafat hukum pracmatig legal realism (realisme hukum)?
  2. Bagaimana peranan aliran pragmatic legal realism dalam mempengaruhi penyelesaian kasus tindak pidana asusila yang terjadi di Indonesia?

 

PEMBAHASAN  

  1. Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Asusila dalam perspektif Aliran Filsafat Hukum Pracmatig Legal Realism (Realisme Hukum)

a. Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

b. Tindak Pidana Asusila

Asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma atau kaidah kesopanan yang saat ini cenderung banyak terjadi kalangan masyarakat, teruatama remaja. Menurut pandangan pancasila pada sila ketiga tindakan asusila merupakan tindakan pelanggaran dan menyimpang dari nilai-nilai moral manusia.

Delik-delik kesusilaan dalam KUHP terdapat dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran. Yang termasuk dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan :

  • Yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda- benda dan sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno (Pasal 281 – 283);
  • Zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296);
  • Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);Yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kandungan (Pasal 299);
  • Memabukkan (Pasal 300);
  • Menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301);
  • Penganiayaan hewan (Pasal 302);
  • Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).

Adapun yang termasuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut :

  • Mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal 532-535);
  • Yang berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
  • Yang berhubungan dengan perbuatan tindak susila terhadap hewan (Pasal 540, 541 dan 544);
  • Meramal nasib atau mimpi (Pasal 545);
  • Menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda berkekuatan gaib dan memberi ilmu kesaktian (Pasal 546);
  • Memakai jimat sebagai saksi dalam persidangan (Pasal547).

Secara mudah, larangan atas tindak pidana asusila dapat ditemui pada Pasal 281 KUHP, yang berbunyi :

“Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

  1. barang siapa dengan sengaja dan terbukamelanggar kesusilaan;
  2. barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.”

(Pasal 281 KUHP dalam KUHP versi terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN))

Melihat pada isi Pasal 281 ke-1 di atas, terlihat bahwa tidak ada yang menyebutkan secara tersurat mengenai “tempat terbuka”, melainkan “terbuka” atau “di muka umum”. Lalu apa yang dimaksud dengan terbuka atau di muka umum?

Terkait pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka orang itu harus:

1)  sengaja merusak kesopanan di muka umum, artinya perbuatan merusak kesopanan itu harus sengaja dilakukan di tempat yang dapat dilihat atau didatangi orang banyak, misalnya di pinggir jalan, di gedung bioskop, di pasar, dan sebagainya, atau

2)   sengaja merusak kesopanan di muka orang lain (seorang sudah cukup) yang hadir di situ tidak dengan kemauannya sendiri, maksudnya tidak perlu di muka umum, di muka seorang lain sudah cukup, asal orang ini tidak menghendaki perbuatan itu.

Ini artinya yang dimaksud dengan tempat terbuka adalah tempat yang dapat dilihat atau didatangi orang banyak.

c. Aliran Filsafat Hukum Pragmatic Legal Realism (Realisme Hukum)

  • John Chipman
  • Gray
  • Oliver W. Holmes
  • Karl Llwellyn
  • Jerome Frank
  • William James

Karl Llewellyn (Thomas W. Bechtler: 1978) mempertegas bahwa realisme hukum bukanlah merupakan suatu aliran di dalam filsafat hukum akan tetapi hanyalah suatu gerakan dalam berfikir tentang hukum dengan karakteristik :

  • Realisme hukum bukanlah suatu aliran/ mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
  • Realisme adalah sautu konsepsi  mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial, maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya.
  • Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara anatara sollen dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan. Agar antara penyelidikan itu mempunyai tujuan maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak observer maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
  • Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh karena realisme bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan defenisi-defenisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang apa yang dikerjakan oleh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
  • Gerakan realisme menekankan pada perkemabangan setiap bagian hukum haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibat-akibatnya.

Selain itu, menurut Oliver Wendell Holmes, hukum adalah apa yang diramalkan akan diputus dalam kenyataan oleh pengadilan. Singkatnya, hukum adalah kelakuan aktual para hakim, yang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu :

  • Kaidah – kaidah hukum yang dikonkretkan oleh hakim dnegan metode interprestasi dan konstruksi
  • Moral hidup pribadi hakim
  • Kepentingan sosial.

Dalam pandangan realisme hukum, hukum tidak satis dan selalu bergerak secara terus menerus sesuai dengan perkembangan masyarakat. Tujuan dari hukum selalu dikaitan dnegan tujuan masyarakat dimana hukum tersebut diberlakukan.

Inti pemikiran dalam aliran ini ialah menjadikan peraturan perundang – undangan sebagai hukum yang utama, dimana hukum perlu dievaluasi dalam penerapannya. Pragmatic legal realism dapat terlihat dari hakim dan pengadilan yang memiliki posisi sentral, yakni sebagai pembuat keputusan hukum hidup.

d. Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Asusila dalam perspektif Aliran Filsafat Hukum Pragmatic Legal Realism (Realisme Hukum)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penegakan hukum adalah suatu upaya untukmembuat norma – norma hukum secara nyata berfungsi sebagai pedoman dalam berperilaku di masyarakat. Norma – norma hukum yang sudah ada perlu ditegakkan agar dapat menjadi pedoman dalam berperilaku di masyarakat, begitu pula dengan norma – norma hukum mengenai tindak pidana asusila secara jelas telah tercantum dalam KUHP. Penegakan hukum terhadap norma – norma tersebut telah dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu polisi, penuntut umum, hakim, dan lain sebagainya.

Namun dalam proses penegakan hukum ini juga membutuhkan peranan masyarakat. Masyarakat tentu memiliki peranan penting baik dalam mencegah dan mengatasi adanya tindak pidana asusila di dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Masyarakat juga terlibat aktif untuk menentukan, memberi batas dan menilai apakah suatu perbuatan tersebut termasuk dalam perbuatan asusila.

Dalam hal ini, aliran pragmatic legal realism lebih mengedepankan pada hukum yang dinamis yakni hukum yang berkembang di dalam suatu masyarakat sesuai dnegan tujuan hidup masyarakat itu sendiri. Aliran ini tidak hanya mempelajari mengenai norma – norma hukum yang menjadi hukum utamanya yakni peraturan perundnag – undangan, tetapi juga bagaimana peraturan perundang – undangan itu bekerja dalam permasalahan – permasalahan yang ada di masyarakat.

Seperti telah dikatakan sebelumnya, bahwa aliran ini menyatakan hukum yang ada adalah hukum yang sesuai dengan dinamika masyarakat dan tujuan masyarakat. Keadaan masyarakat lebih cepat berubah dibanding hukum. Maka dari itu, perubahan – perubahan terhadap hukum disebut dengan evaluasi untuk menjadikan hukum lebih efektif bagi masyarakat.

Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana asusila, aliran ini membawa pandangan bahwa hal itu harus disesuaikan dengan hukum yang berlaku yakni bagaimana KUHP mengatur mengenai delik – delik perbuatan asusiala dan saksi terhadap pelaku, juga memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat dan melakukan evaluasi terhadap hukum yang tidak lagi sejalan dengan apa yang diharapkan masyarakat. Jadi aliran ini memungkinkan adanya revisi dan evaluasi terhadap peraturan perundang – undangan mengenai tindak pidana asusila.

 

  1. Peranan Aliran Pragmatic Legal Realism dalam mempengaruhi penyelesaian kasus tindak pidana asusila yang terjadi di Indonesia 

Penulis telah memilih sebuah kasus tindak pidana asusila yang akan dibahas penyelesaiannya dan dikaitkan dengan aliran pragmatic legal realism. Kasus tersebut berlokasi di salah satu provinsi di Indonesia, yaitu Bengkulu. Kasus kini sempat menggemparkan bahkan sampai ke tingkat nasional dengan #NyalaUntukYuyun.

Berikut kronologi singkatnya :

  • Yuyun, seorang gadis kecil berumur 14 tahun, pada hari kejadian, Sabtu, 2 April 2016,  pulang sekolah sekitar pukul 13.30 WIB.
  • Ia pulang dengan membawa alas meja dan bendera merah putih untuk dicuci sebagai persiapan upacara bendera Senin. Jarak antara sekolah ke rumah korban sejauh 1,5 kilometer melewati kebun karet milik warga.
  • Saat berjalan, ia berpapasan dengan 14 pelaku atas nama Dedi Indra Muda (19), Tomi Wijaya (19), DA (17), Suket (19), Bobi (20), Faisal Edo (19), Zainal (23), Febriansyah Syahputra (18), Sulaiman (18), AI (18), EK (16) dan SU (16).
  • Dua nama terakhir adalah kakak kelas korban. Salah satunya bernama EK sudah keluar dan tidak bersekolah lagi di SMP Negeri 5 Padang Ulak Tanding, sedangkan dua nama lain, yaitu BE dan CH, masih diburu polisi.
  • Para pelaku yang melihat Yuyun langsung mencegat dan menyekap Yuyun. Kepala Yuyun dipukuli kayu, kaki dan tangannya diikat, leher dicekik, kemudian dicabuli secara bergiliran. Bahkan ada pelaku yang mengulang perbuatan hingga 2 dan 3 kali.
  • Para pelaku lalu mengikat dan membuang tubuh korban ke jurang sedalam 5 meter dan menutupinya dengan dedaunan dalam kondisi telanjang. Hasil visum menyebutkan Yuyun sudah meninggal saat pemerkosaan berlangsung.
  • Pada Minggu, 3 April, kedua orangtua korban pulang dari ladang dan langsung bergabung dengan warga melakukan pencarian. Hingga malam hari, korban belum ditemukan. Malam itu juga, keluarga bersama warga menggelar yasinan di rumah orangtua siswi kelas VIII itu.
  • Pada Senin, 4 April, pukul 13.00 WIB, mayat korban ditemukan pertama kali oleh DA (45) dalam kodisi telanjang, tertutup daun pakis. Posisi badan menelungkup dan tangan terikat tali dari atas hingga ke bawah paha. Saat ditemukan, terdapat lebam bekas pukulan pada muka dan tanda kekerasan pada kemaluan korban.

 

Kasus tindak pidana asusila ini tidak hanya sebatas pada perbuatan asusila bahkan hingga merenggut nyawa korban, yang merupakan seorang anak perempuan berumur 14 yang masih duduk di bangku sekolah dan setelah diketahui ternyata dari tujuh orang pelaku, pelaku tersebut sebagian besar adalah anak sekolahan juga  sama seperti korban.

Perlu diketahui bahwa memang saat ini, kebanyakan korban dari tindak pidana asusila adalah anak – anak. Maka dari itu, pemerintah Indonesia telah membuat suatu undang – undang yang khusus mengatur tentang perlindungan anak, yakni UURI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Penyelesaian kasus ini dilakukan dengan proses persidangan di Pengadilan Negeri Curup. Pada awalnya, ketujuh terdakwa terlebih dahulu dituntut dengan Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 81 ayat (1) jucto Pasal 76 huruf d UURI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang dijabarkan sebagai berikut :

Pasal 76D

Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

 Pasal 80 ayat (3)

Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)

Pasal 81 ayat (1)

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Ketujuh pelaku tersebut telah mendapat putusan 10 tahun penjara dengan pelatihan kerja selama 6 bulan. Selanjutnya, proses persidangan dilanjutkan dengan menyidangkan 6 pelaku lainnya dan sampai saat ini masih ada 1 pelaku yang belum dapat ditemukan. Keenam pelaku tersebut, kemudian dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan denda sebesar 2 miliyar rupiah.

Jika kita melihat dari salah satu contoh kasus tindak pidana asusila di atas, bahwa benar di dalam peraturan perundnag – undangan yang berlaku telah jelas tetera bentuk kejahatan dan pelanggaran yang dilarang beserta saksinya. Namun dalam menyelesaikan suatu kasus, seorang hakim tidak hanya cukup berlandaskan pada peraturan perundang – undangan saja. Melainkan hakim tersebut perlu melihat bagaimana keadaaan di masyarakat. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap kasus tersebut? Bagaimana harapan masyarakat mengenai penyelesaian kasus tersebut? Seorang hakim tidak dapat kaku hanya berkacamata kuda pada peraturan perundang – undangan, tetapi juga bukan berarti tidak dilandasi dengan itu. Seornag hakim harus memiliki wawasan yang luas dan pandangan tersendiri dalam memutus suatu perkara. Cara hakim untuk dapat memutus suatu perkara dengan memperhatikan segala aspek sesuai dengan aliran pragmatig legal realism, bahwa aliran ini beranggapan :

  1. Hukum adalah yang ditetapkan oleh hakim di pengadilan dan konsepnya dapat berubah-ubah,
  2. Hukum tertulis tidak mencukupi kebutuhan hakim dalam mengadili,
  3. Hukum sebagai alat mencapai tujuan sosial,
  4. Masyarakat berubah lebih cepat dari pada perkembangaan hukum, maka bagaimana caranya hukum mampu menghadapi persoalan masyarakat,
  5. Mempelajari hukum harus diarahkan kepada yang kongkret dan nyata, nilai hukum dilihat dari efektivitas dan kemanfaatanya.

Realisme dan pragmatisme oleh Joreme Frank, bahwa menurut Frank, hukum tidak dapat disamakan dengan aturan yang tetap. Aturan tetap, norma-norma hukum berperan seakan-akan sebagai prinsip logika, prinsip-prinsip itulah yang menjadi landasan hakim menjahtuhkan keputusan.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat dimbil dari paper ini adalah :

  1. Penegakan hukum terhadap tindak pidana asusila dalam perspektif aliran pragmatic legal realism (realisme hukum) ialah penegakan hukum yang tidak hanya melibatkan aparat penegak hukum saja melainkan masyarakat dimana tujuan adanya suatu hukum ialah untuk mengatur kehidupan bermasyarakat agar mencapai tujuan masyarakat itu sendiri.
  2. Dari contoh kasus yang telah dibahas dalam paper ini, dapat diketahui bahwa aliran pragmatic legal realism memberikan peranan penting dalam proses pengambilan keputusan oleh hakim. Bahawa hakim tidak saja berlandaskan pada peraturan perundnag – undangan yang berlaku melainkan juga pada pandangan masyarakat untuk mencapai tujuan masyarakat yaitu kepentingan sosial.

 

DAFTAR PUSTAKA

 Buku

Lili Rasjidi, Dasar – dasar Filsafat Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1990

Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apa itu Hukum?, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991

Muhamad Erwin, Filsafat Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2012

Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2014

 

Peraturan Perundang – Undangan

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang – Undangan Hukum Pidana.

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

Panduan Permasyarakatan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jendral MPR RI

 

Internet

http://regional.liputan6.com/read/2499720/kronologi-kasus-kematian-yuyun-di-tangan-14-abg-bengkulu, diakses pad atanggal 4 Mei 2017 pukul 20.00 WIB

http://www.bukucatatan.net/2016/11/perbuatan-asusila-menurut-kuhp.html, diakses pada 4 Mei 2017, pukul 23.49 WIB

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt521b9029a4e48/tentang-tindak-pidana-merusak-kesopanan-di-muka-umum, diakses pada tanggal 4 Mei 2017 pukul 23.59 WIB.

http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf diakses pada 5 Mei 2017, pukul 00.12 WIB

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/09/160929_indonesia_yuyun_vonis_terdakwa, diakses pada tanggal 5 Mei 2017 pukul 02.34 WIB

Semoga bermanfaat!

Leave a comment